Selasa, 13 Agustus 2013

TUHAN bab 1.

TUHAN

     Kalau kita menengok ke belakang, mempelajari kepercayaan umat manusia, maka yang ditemukan adalah hampir semua umat manusia mempercayai adanyaTuhan yang mengatur alam raya ini.


     Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme (keyakinan banyak tuhan): bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah (tuhan) Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa Peperangan, Minerva adalah Dewa Kekayaan, sedangkan Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari.

     Orang-orang Hindu -masa lampau juga mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan itu tercermin antara lain dalam Hikayat Mahabarata.

    Pada Masyarakat Mesir contohnya, Mereka meyakini adanya Dewa Iziz, Dewi Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra'.
    Masyarakat Persia pun demikian, mereka percaya bahwa ada Tuhan Gelap dan Tuhan Terang. Begitulah seterusnya. Pengaruh keyakinan tersebut merambah ke masyarakat Arab, walaupun jika mereka ditanya tentang Penguasa dan Pencipta langit dan bumi mereka menjawab, "Allah." Tetapi dalam saat yang sama mereka menyembah juga berhala-berhala Al-Lata, Al- Uzza, dan Manata, tiga berhala terbesar mereka, di samping ratusan berhala lainnya.

    Al-Quran datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan membawa ajaran tauhid. Tulisan ini berusaha untuk memaparkan wawasan Al-Quran tentang hal tersebut, meskipun harus diakui bahwa tulisan ini tidak mungkin dapat menjangkau keseluruhannya.

    Dapat dibayangkan betapa luas pembahasan tentang Tuhan Yang Maha Esa bila akan dirujuk keseluruhan kata yang menunjuk-Nya. Kata "Allah" saja dalam Al-Quran terulang sebanyak 2697 kali.
    Belum lagi kata-kata semacam Wahid, Ahad, Ar-Rab, Al-Ilah, atau kalimat yang menafikan adanya sekutu bagi-Nya baik dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum, atau kewajaran beribadah kepada selain-Nya serta penegasian lain yang semuanya mengarah kepada penjelasan tentang tauhid.

FITRAH MANUSIA: KEYAKINAN TENTANG KEESAAN ALLAH

     Kalau kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran, hampir tidak ditemukan ayat yang membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syaikh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Islam wa Al-'Aql menegaskan bahwa, "Jangankan Al-Quran, Kitab Taurat, dan Injil dalam bentuknya yang sekarang pun (Perjanjian Lama dan Baru) tidak menguraikan tentang wujud Tuhan." Ini disebabkan karena wujud-Nya sedemikian jelas, dan "terasa" sehingga tidak perlu dijelaskan.

     Al-Quran mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.
Demikian dipahami dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30):

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikan'" (QS Al-A'raf [7]: 172).

    Perlu Anda Sadari betapa lemahnya manusia dihadapan-Nya. dan betapa kuasa dan perkasa Dia Yang Maha Agung itu.

      Setiap orang memiliki fitrah, dan terbawa sejak kelahiran, walau seringkali -karena kesibukan dan dosa-dosa- ia terabaikan, dan suaranya begitu lemah sehingga tidak terdengar lagi. Tetapi bila diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap di dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain kecuali kepada Allah semata, tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi kecuali kepada-Nya.

La haula wa la quwwata illa billahi-'Aliyyil-'Azhim
(Tiada daya untuk memperoleh manfaat, tiada pula kuasa untuk menolak mudarat, kecuali bersumber dari Allah Yang Mahatinggi lagi Maha Agung).

Dan dengan demikian tidak ada lagi rasa takut yang menghantui atau mencengkeram, tiada pula rasa sedih yang akan mencekam. Sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip) bahwa Tuhan Pemelihara kami adalah Allah, serta istiqamah dengan prinsip itu, akan turun kepada mereka malaikat (untuk menenangkan mereka sambil berkata)

     "Jangan takut, jangan bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan" (QS Fushshilat [41]:28)

    "Orang-orang yang beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram karena mengingat Allah. Memang hanya dengan mengingat Allahlah jiwa menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28).

    Memang boleh jadi ada saat-saat dalam hidup ini -singkat atau panjang- dimana manusia mengalami keraguan tentang wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan tersebut mengantarnya untuk menolak kehadiran Tuhan dan menanggalkan kepercayaannya, tetapi ketika itu keraguannya akan beralih menjadi kegelisahan, khususnya pada saat-saat ia merenung.

    Di atas telah di katakan bahwa hampir tidak ditemukan ayat yang membicarakan tentang wujud Tuhan.
    Ini karena harus diakui bahwa ada beberapa ayat Al-Quran yang dapat dipahami sebagai berbicara tentang wujud Tuhan, dan ada pula beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya segelintir manusia yang ateis. Misalnya,

    "Dan mereka berkata, 'Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.'" (QS Al-Jatsiyah [45]: 24)

    Namun seperti bunyi lanjutan ayat di atas,

     "Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." Bahkan boleh jadi kita dapat berkata bahwa mereka yang tidak mempercayai wujud Tuhan adalah orang-orang yang kehabisan akal dan keras kepala ketika berhadapan dengan satu kenyataan yang tidak sesuai dengan "nafsu kotornya" itu. Yang demikian dapat dipahami dari ayat yang menguraikan diskusi yang terjadi antara Nabi Ibrahim a.s. dan penguasa masanya (Namrud) (QS Al-Baqarah [2]: 258),

   atau Fir'aun ketika berhadapan dengan Musa a.s. yang bertanya,

     "Siapa Tuhan semesta alam itu?" (QS Al-Syu'ara, 126]: 23).

Salah satu bukti bahwa pernyataan ini lahir dari sikap keras kepala adalah pengakuan Fir'aun sendiri ketika ruhnya akan meninggalkan jasadnya. Dalam konteks ini Al-Quran, menjelaskan sikap Fir'aun yang ketika itu kembali kepada fitrah, namun sayang dia telah terlambat.   "

hingga saat Fir'aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia.

'Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).' Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan?" (QS Yunus [10]: 90-91).

      Ayat ini sekaligus membuktikan bahwa kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia yang merupakan kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada yang mengingkari wujud tersebut, maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa pada akhirnya -sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya- ia akan mengakui-Nya. Memang, kebutuhan manusia bertingkat-tingkat, ada yang harus dipenuhi segera seperti kebutuhan udara, ada yang dapat ditangguhkan untuk beberapa saat, seperti kebutuhan minum. Kebutuhan untuk makan, dapat ditangguhkan lebih lama daripada kebutuhan minuman, tetapi kebutuhan pemenuhan seksual bisa lebih lama ditangguhkan daripada kebutuhan pada makan dan minum; demikian seterusnya. Kebutuhan yang paling lama dapat ditangguhkan adalah kebutuhan tentang keyakinan akan adanya Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa.

  TAUHID ADALAH PRINSIP DASAR AGAMA SAMAWI

       Merujuk kepada Al-Quran, dapat kita temukan bahwa para Nabi dan Rasul selalu membawa ajaran tauhid.

  "Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku" (QS Al-Anbiya' [21]: 25).

  "Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya."   Demikian ucapan Nabi Nuh, Hud, Shaleh dan Syu'aib yang diabadikan Al-Quran masing-masing secara berurut dalam surat Al-A'raf (7): 59, 65, 73, dan 85.

   Demikian juga ajaran yang diterima Musa a.s. langsung dari Allah:

  "Aku yang memilihmu, maka dengarkan dengan tekun, apa yang diwahyukan (padamu): 'Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku'" (QS Thaha [20] 13-14)

       Nabi Isa a.s. juga mengajarkan prinsip ini kepada umatnya:

  "Isa berkata (kepada Bani Israil), 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.' Sesunguhnya siapa yang mempersekutukan-Nya maka Allah mengharamkan baginya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tiada penolong bagi orang-orarg yang aniaya." (QS Al-Maidah [5]: 72)

  Namun, walaupun semua nabi membawa ajaran tauhid, terlihat melalui ayat-ayat Al-Quran bahwa ada perbedaan dalam pemaparan mereka tentang prinsip tauhid. Jelas sekali bahwa Nabi Muhammad Saw., melalui Al-Quran diperkaya oleh Allah dengan aneka penjelasan dan bukti, serta jawaban yang membungkam siapa pun yang mempersekutukan Tuhan   Allah Swt. menyesuaikan tuntunan yang dianugerahkan kepada para Nabi-Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berpikir umat mereka.

     Karena itu hampir tidak ada bukti-bukti logis yang dikemukakan oleh Nabi Nuh kepada umatnya, dan pada akhirnya setelah mereka tetap membangkang, jatuhlah sanksi yang memusnahkan mereka:

  "Maka topan membinasakan mereka, dan mereka adalah orang-orang aniaya" (QS Al-'Ankabut [29]: 14).

      Ketika tiba masa Nabi Hud a.s. -yang masanya belum terlalu jauh dari Nuh- pemaparan beliau hampir tidak berbeda, tetapi di sana sini telah jelas bahwa masyarakat yang diajaknya berdialog, memiliki kemampuan berpikir sedikit di atas umat Nuh. Karena itu, pemaparan tentang tauhid yang dikemukakan oleh Hud a.s. disertai dengan peringatan tentang nikmat-nikmat Allah yang mereka dapatkan. Dalam rangkaian ayat-ayat yang mengingatkan mereka akan keesaan Allah, Hud mengingatkan:

  "Ingatlah (nikmat Allah) oleh kamu sekalian ketika Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh; dan Tuhan melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh), maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS Al-A'raf [7]: 69,
dan juga dalam QS Al-Syu'ara' [26]: 123-140)

   Nabi Shaleh yang datang sesudah Nabi Hud a.s. lebih luas dan rinci penjelasannya, karena wawasan umatnya lebih luas pula. Mereka misalnya diingatkan tentang asal kejadian mereka dari tanah atau tugas mereka memakmurkan bumi (QS Hud [11]: 61).
     Akal yang mampu mencerna dapat memahami bahwa asal kejadian manusia berasal dari tanah -dalam arti bahwa sperma yang dituangkan ke rahim istri berasal dari makanan yang dihasilkan oleh bumi.
     Manusia yang memiliki akal yang dapat mencerna ini atau walau hanya memahaminya secara umum, pastilah lebih mampu dari mereka yang sekadar dipaparkan kepadanya nikmat-nikmat Ilahi, sebagaimana halnya kaum Hud dan Nuh- Di samping itu ada bukti lain yang dikemukakan Nabi Shaleh:

  "Dan kepada Tsamud (Kami mengutus) saudara mereka Shaleh. Dia berkata, 'Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang sangat nyata kepadamu; unta betina Allah ini sebagai bukti untuk kamu ...'" (QS Al-A'raf [7]: 73).

  Ketika tiba masa Syu'aib, ajakan dakwahnya lebih luas lagi, melampaui batas yang disinggung oleh ketiga Nabi sebelumnya. Kali ini ajaran tauhid tidak saja dikaitkan dengan bukti-bukti, tetapi juga dirangkaikan dengan hukum-hukum syariat.

  "Dan kepada penduduk Madyan (Kami mengutus) saudara mereka Syu'aib. Ia berkata, 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dan Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.'" (QS Al-A'raf [7]: 85).

     Ayat ini bahkan menggugah jiwa dan menuntut mereka untuk membangun satu masyarakat yang penuh dengan kemakmuran dan keadilan.
  Setelah itu, datang ajakan Nabi Ibrahim, yang merupakan periode baru dari tuntunan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa.

    Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai "Bapak Para Nabi," "Bapak Monoteisme," serta "Proklamator Keadilan Ilahi" karena agama-agama samawi terbesar dewasa ini merujuk kepada agama beliau.

     Ibrahim a.s. menemukan dan membina keyakinannya melalui pencarian dan pengalaman-pengalaman keruhanian yang dilaluinya dan hal ini -secara Qurani- terbukti bukan saja dalam penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam, sebagaimana diuraikan dalam surat (QS. Al-An'am ayat 75), tetapi juga dalam keyakinan tentang hari kebangkitan. Menarik untuk diketahui bahwa beliaulah satu-satunya Nabi yang disebut Al-Quran bermohon kepada Allah untuk diperlihatkan bagaimana cara-Nya menghidupkan yang mati, dan permintaan beliau itu dikabulkan Allah (QS Al-Baqarah [2]: 260)

    Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang mempengaruhi atau bahkan mengubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tetapi, seperti ditulis Abbas Al-'Aqqad dalam Abu Al-Anbiyya': "Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim a.s. merupakan penemuan manusia yang terbesar, dan yang tidak dapat diabaikan oleh para ilmuwan atau sejarawan. Ia tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom -betapapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut- yang semua itu dikuasai oleh manusia. Penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk kepada alam menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya. Penemuan manusia dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tetapi kesewenangan-wenangan ini tidak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim a.s. tetap menghiasi jiwanya. Penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tidak-diketahuinya berkaitan kedudukannya sebagai makhluk, dan hubungan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya, dan makhluk-makhluk sesamanya."
(bersambung 2/4)
WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas berbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Senin, 12 Agustus 2013

MANUSIA

     Dalam bukunya, Man the Unknown, Dr. A. Carrel menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia.

Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya ia menulis:
Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian sepanjang masa ini.
Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri.
Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia kepada diri mereka hingga kini masih tetap tanpa jawaban.
     Keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu disebabkan oleh:
 
1. Pembahasan tentang masalah manusia terlambat dilakukan, karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi. Pada zaman primitif, nenek moyang kita disibukkan untuk menundukkan atau menjinakkan alam sekitarnya, seperti upaya membuat senjata-senjata melawan binatang-binatang buas, penemuan api, pertanian, peternakan, dan sebagainya sehingga mereka tidak mempunyai waktu luang untuk memikirkan diri mereka sebagai manusia. Demikian pula halnya Pada Zaman Kebangkitan (Renaisans) ketika para ahli digiurkan oleh penemuan-penemuan baru mereka yang disamping menghasilkan keuntungan material, juga menyenangkan publik secara umum karena penemuan-penemuan tersebut mempermudah dan memperindah kehidupan ini.

2. Ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan oleh sifat akal kita seperti yang dinyatakan oleh Bergson tidak mampu mengetahui hakikat hidup.

3. Multikompleksnya masalah manusia.
    
     Dari penjelasan di atas, agamawan dapat berkomentar,
 bahwa pengetahuan tentang manusia demikian itu disebabkan karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh Ilahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh, kecuali sedikit (QS Al-Isra' [17]: 85).
 
     Jika apa yang dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima, maka satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu Ilahi, agar kita dapat menemukan jawabannya.
  Untuk maksud tersebut tentu tidak cukup dengan hanya merujuk kepada satu dua ayat, tetapi seharusnya merujuk kepada semua ayat Al-Quran (atau paling tidak ayat-ayat pokok) yang berbicara tentang masalah yang dibahas, dengan mempelajari konteksnya masing-masing, dan mencari penguat-penguatnya baik dari penjelasan Rasul, maupun hadist.
Cara ini dikenal dalam disiplin ilmu Al-Quran dengan metode maudhu'i (tematis).
  Istilah Manusia dalam Al-Quran Ada tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia.
  1. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin, semacam insan, ins, nas, atau unas.
  2. Menggunakan kata basyar.
  3. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.
 
     Uraian ini akan mengarahkan pandangan secara khusus kepada kata basyar dan kata insan.
  Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.
 
     Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.
     Karena itu Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk menyampaikan bahwa,

  Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu (QS Al-Kahf, 18:110).

    Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Quran yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.
      Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran (QS Al-Rum 30: 20).
  Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezeki.
    Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu pula Maryam a.s. mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak, padahal dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang mampu berhubungan seks (QS Ali 'Imran 3: 47). Kata basyiruhunna yang digunakan oleh Al-Quran sebanyak dua kali (QS Al-Baqarah 2: 187), juga diartikan dengan hubungan seks.

  Demikian terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Dan karena itu pula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar. perhatikan (QS Al-Hijr, 115: 28) yang menggunakan kata basyar, dan (QS Al-Baqarah, 2:30) yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitaan Allah kepada malaikat tentang manusia.

  Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang Al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dan kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang).   Kitab Suci Al-Quran seperti tulis Bint Al-Syathi' dalam Al-Quran wa Qadhaya Al-Insan seringkali memperhadapkan insan dengan jin/jan.

  Kata insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan.

  Produksi dan Reproduksi Manusia   Al-Quran menguraikan produksi dan reproduksi manusia. Ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, Al-Quran menunjuk kepada sang Pencipta dengan menggunakan pengganti nama berbentuk tunggal:

  Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dan tanah (QS Shad 38: 71).
   Apa yang menghalangi kamu (iblis) sujud kepada apa yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? (QS Shad 38: 75).

  Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak. Demikian kesimpulan kita kalau membaca surat At-Tin ayat 4
 
Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.(Qs At Tin ayat 4)

  Hal itu untuk menunjukkan perbedaan proses kejadian manusia secara umum dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia secara umum, melalui proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu ibu dan bapak. Keterlibatan ibu dan bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak, sedangkan dalam penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan bapak.

  Al-Quran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam, yang oleh mayoritas ulama dinamai manusia pertama. Yang disampaikannya dalam konteks ini hanya:

a. Bahan awal manusia adalah tanah.
b. Bahan tersebut disempurnakan.
c. Setelah proses penyempurnaannya selesai,

ditiupkan kepadanya ruh Ilahi (QS Al-Hijr [15]: 28-29; Shad [38]: 71-72).

    Apa dan bagaimana penyempurnaan itu, tidak disinggung oleh Al-Quran. Dari sini, terdapat sekian banyak cendekiawan dan ulama Islam, jauh sebelum Darwin yang melakukan penyelidikan dan analisis sehingga berkesimpulan bahwa manusia diciptakan melalui fase atau evolusi tertentu, dan bahwa ada tingkat-tingkat tertentu menyangkut ciptaan Allah. Nama-nama seperti:
Al-Farabi (783-950 M), Ibnu Miskawaih (Wafat 1030 M), Muhammad bin Syakir Al-Kutubi (1287- 1363 M), Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dapat disebut sebagai tokoh-tokoh paham evolusi sebelum lahirnya teori evolusi Darwin (1804-1872 M).

     Perlu ditambahkan bahwa kesimpulan ulama-ulama tersebut tidak sepenuhnya sama dalam rincian teori evolusi yang dirumuskan oleh Darwin.

      Dari sini pula dapat dimengerti uraian pakar tafsir Syaikh Muhammad Abduh yang menyatakan bahwa seandainya teori Darwin tentang proses penciptaan manusia dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, maka tidak ada alasan dari Al-Quran untuk menolaknya. Al-Quran hanya menguraikan proses pertama, pertengahan, dan akhir. Apa yang terjadi antara proses pertama dan pertengahan, serta antara pertengahan dan akhir, tidak dijelaskannya   Abbas Al-Aqad, seorang ilmuwan dan ulama Mesir kontemporer, dalam bukunya Al-Insan fi Al-Quran (Manusia dalam Al-Quran) mempersilakan setiap Muslim, untuk menerima atau menolak teori itu, berdasarkan penelitian ilmiah, tanpa melibatkan Al-Quran sedikit pun, karena Al-Quran tidak berbicara secara rinci tentang proses kejadian manusia pertama.   Potensi Manusia   Yang banyak dibicarakan oleh Al-Quran tentang manusia adalah sifat-sifat dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang,

Terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS Al-Tin [95]: 5),

dan penegasan tentang

    di muliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk Allah yang lain (QS Al-Isra' [17]: 70)
 
Tetapi, di samping itu sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS Ibrahlm [14]: 34),
sangat banyak membantah (QS Al-Kahf [18]: 54),
dan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS Al-Ma'arij [70]: l9),
dan masih banyak lagi lainnya.

      Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu dengan lainnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus dihindarinya. Disamping menunjukkan bahwa makhluk ini mempunyai potensi (kesediaan) untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau berada di tempat yang rendah sehingga ia tercela.   Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran menjelaskan bahwa

   manusia diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya dihembuskanlah kepadanya Ruh Ilahi (QS Shad [38]: 71-72).

     Dari sini jelas bahwa manusia merupakan kesatuan dua unsur pokok, yang tidak dapat dipisahkan karena bila dipisahkan maka ia bukan manusia lagi. Sebagaimana halnya air yang merupakan perpaduan antara oksigen dan hidrogen dalam kadar-kadar tertentu. Bila kadar oksigen dan hidrogennya dipisahkan, maka ia tidak akan menjadi air lagi.

     Potensi manusia dijelaskan oleh Al-Quran antara lain melalui kisah Adam dan Hawa (QS Al-Baqarah [2]: 30-39).

  Dalam ayat itu dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi.

   Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan Ruh Ilahi (akal dan ruhani), makhluk ini dianugerahi pula:
  a. Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam.

  Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan, serta melaksanakannya.
Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk dijadikan khalifah di bumi, dan karenanya mereka bersedia sujud kepada Adam.

  b. pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat buruknya.

  Pengalaman di surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini, kecukupan sandang, pangan, dan papan, serta rasa aman terpenuhi (QS Thaha [20]: 116-ll9),

   sekaligus arah terakhir bagi kehidupannya di akhirat kelak.    Sedangkan godaan Iblis, dengan akibat yang sangat fatal itu, adalah pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang belum masuk, yang sudah masuk ke surga pun, bila mengikuti rayuannya akan ikut terjerumus.

Rabu, 31 Juli 2013

Hukum Seputar Idul Fithri

Mempersiapkan shalat Iedul Fithri dengan membersihkan diri dan memakai pakaian yang paling bagus. Imam Malik dalam kitab Muwaththa’-nya mentakhrij sebuah hadits dari Nafi’, ia berkata, “Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma dahulu mandi pada hari Iedul Fithri sebelum mendatangi tempat shalat”. Riwayat ini sanadnya shahih. Ibnul Qayyim berkata “Telah shahih dari Ibnu ‘Umar, dan diketahui pula bahwa beliau adalah orang yang semangat dalam mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau dahulu mandi pada hari raya sebelum ia keluar (ke tempat shalat). (Zaadul Ma’aad 1/442). Dan telah shahih pula dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, dalam hal memakai pakaian yang paling baik pada dua hari raya. Ibnu Hajar berkata, “Diriwayatkan dari Ibnu Abi Ad-Dunya dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih yang sampai kepada Ibnu ‘Umar, bahwasanya dia memakai pakaian yang paling bagus pada dua hari raya.” (Fathul Bari 2/51). Disunnahkan sebelum keluar melaksanakan shalat ‘Iedul Fithri, agar memakan beberapa biji kurma dengan jumlah ganjil, misalnya tiga, lima atau lebih banyak dari itu dalam bilangan ganjil. Berdasarkan hadits Anas radhiyallahu’anhu, dia berkata, “Dahulu Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak keluar pada pagi hari ‘Iedul Fithri, sampai beliau memakan beberapa kurma, dan beliau memakannya dalam jumlah ganjil”. (HR.Al-Bukhari) Disunnahkan untuk bertakbir dan mengeraskan takbir pada hari raya. Adapun bagi wanita adalah dengan merendahkan suaranya, dimulai sejak keluar dari rumah sampai ke tempat shalat. Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dahulu keluar dari rumahnya pada dua hari raya… Beliau mengangkat suaranya dengan tahlil dan takbir…” (Hadits shahih dengan berbagai penguat, lihat Al-Irwaa’ 3/123). Dan dari Nafi’, ia berkata “Sesungguhnya Ibnu ‘Umar ketika keluar pada pagi hari Iedul Fithri dan hari Iedul Adha, beliau mengeraskan takbir hingga sampai di tempat shalat, kemudian bertakbir sampai imam datang, lalu bertakbir dengan takbirnya imam tersebut (mengikuti takbir imam)”. (HR. Ad-Daruquthni dengan sanad shahih) Dan di antara bentuk takbir yaitu yang telah tetap dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwasanya ia bertakbir pada hari-hari tasyriq (dengan membaca): الله أكبر ، الله أكبر ، لا إله إلا الله . والله أكبر ، الله أكبر ، ولله الحمد Allahu akbar, Allahu akbar, Laa Ilaaha Illallah, wallahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamdu Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, dan Allah Maha Besar, dan bagiNya semua pujian”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih) Perhatian: Bertakbir secara berjama’ah dengan satu suara (bersama-sama) tidak dituntunkan/tidak ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, dan tidak pula dari seorang pun dari kalangan sahabatnya. Adapun yang benar adalah setiap orang bertakbir dengan sendiri-sendiri. Disunnahkan untuk mendatangi tempat shalat dengan berjalan kaki. Berdasarkan hadits ‘Ali radhiyallahu’anhu, ia berkata, “Termasuk dari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah keluar pada hari raya dengan berjalan kaki”. (HR.At-Tirmidzi, dan hadits ini hasan dengan syawaahidnya) Disunnahkan ketika kembali dari tempat shalat agar melewati jalan yang berbeda dengan jalan yang dilalui ketika berangkat ke tempat shalat. Berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu’anhu, dia berkata, “Dahulu pada hari raya, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melalui jalan yang berbeda (untuk pergi dan pulangnya)”. (HR. Al-Bukhari) Shalat Iedul Fithri dilaksanakan setelah matahari terbit dan meninggi, tanpa adzan dan iqamat. Shalat tersebut terdiri dari dua rakaat, pada rakaat pertama terdapat tujuh takbir zawaid (tambahan), kemudian pada rakaat kedua terdapat lima takbir zawaid. Dan disunnahkan bagi imam untuk mengeraskan bacaannya, setelah al-Fatihah membaca surat al-A’la pada rakaat pertama, dan al-Ghasyiyah pada rakaat kedua. Atau surat Qaf pada rakaat pertama dan surat al-Qamar pada rakaat kedua. Kemudian berkhutbah setelah shalat. Dan sangat ditekankan bagi para wanita untuk ikut serta keluar ke tempat shalat. Di antara dalil untuk point ini adalah: Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata, ” Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dahulu bertakbir pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adha, pada (rakaat) pertama tujuh kali takbir dan pada (rakaat) kedua lima kali takbir”. (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan dan hadits ini memiliki syawahid yang banyak). Hadits dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dahulu pada shalat Jum’at dan shalat dua hari raya membaca surat ( هل أتاك حديث الغاشية) . (HR. Muslim) Hadits dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, bahwa ‘Umar ibnu al-Khaththab radhiyallahu’anhu bertanya kepada Abu Waqid al-Laitsiy, “Surat apakah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada hari Iedul Adha dan Iedul Fithri? Lalu ia (Abu Waqid al-Laitsiy) menjawab, “Pada dua hari raya tersebut beliau membaca surat Qaf ( ق والقرآن المجيد ) dan surat Al Qomar (اقتربت الساعة وانشق القمر). (HR. Muslim) Hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu’anha, ia berkata, “Kami para wanita diperintahkan untuk keluar (mendatangi tempat shalat pada hari raya), lalu kami keluarkan wanita-wanita haid, para remaja putri serta wanita-wanita dalam pingitan (wanita yang belum menikah). Adapun para wanita haid maka mereka menyaksikan jama’ah muslimin dan doa-doa mereka, serta menjauhi tempat shalat kaum muslimin”. (HR.Al-Bukhari dan Muslim) Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, ia berkata, “Aku menyaksikan shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman, maka mereka semua melakukan shalat ied sebelum khutbah”. (HR. Muslim) Hadits dari Jabir radhiyallahu’anhu, ia berkata, “Aku shalat dua hari raya bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam lebih dari sekali atau dua kali tanpa adzan dan tanpa iqomat”. (HR. Muslim) Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jum’at, maka siapapun yang telah melakukan shalat ied maka tidak wajib baginya untuk shalat Jum’at. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda, “Telah terkumpul dua hari raya pada hari kalian ini, barangsiapa yang mau maka itu sudah mencukupinya dari shalat Jum’at, dan sesungguhnya kita akan memadukan (dua hari raya tersebut), insyaAllah“. (HR.Ibnu Majah dengan sanad jayyid dan hadits ini memiliki syawahid yang banyak) [Namun jika tidak menghadiri shalat Jum’at harus diganti dengan shalat Zhuhur, ed] Apabila manusia belum mengetahui akan datangnya hari raya kecuali setelah berlalunya waktu shalat berjamaah (shalat ied), maka shalat ied dilaksanakan pada esok harinya. Berdasarkan hadits Abu ‘Umair bin Anas rahimahullah dari paman-pamannya yang termasuk kalangan sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Sebuah rombongan datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam, mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk berbuka, dan pergi ke tempat shalat mereka (shalat ied) pada keesokan harinya”. (HR. Ashhabus Sunan, dishahihkan oleh Al-Baihaqi, An-Nawawi, Ibnu Hajar dan lain-lain) Tidak ada larangan (artinya: dibolehkan, ed) untuk saling mengunjungi dan mengucapkan ( تقبل الله منا ومنك ) Taqabbalallahu minnaa wa minka. Berkata Ibnu al-Turkimaniy, “Pada bab ini terdapat sebuah hadits yang jayyid yaitu hadits dari Muhammad bin Ziyad, ia berkata, “Ketika aku bersama Abu Umamah al-Bahiliy dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam, maka apabila mereka kembali (dari shalat ied) sebagian mereka mengucapkan kepada sebagian yang lain ( تقبل الله منا ومنك ) Taqabbalallahu minnaa wa minka. Hari raya adalah hari bersenang-senang. Dari Anas radhiyallahu’anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam datang ke Madinah dan pada saat itu penduduk Madinah memiliki dua hari dimana mereka bermain-main (bersenang-senang) pada kedua hari tersebut, maka Rasulullah bertanya, “Dua hari apakah ini?” mereka menjawab, “pada masa jahiliyyah kami bersenang-senang pada kedua hari ini”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari Iedul Adha dan Iedul Fithri”. (HR. Ahmad, dengan sanad shahih) Berhati-hatilah wahai saudara muslim untuk tidak terjatuh ke dalam pelanggaran syari’at yang sering dilakukan sebagian manusia pada dua hari raya tersebut. Seperti memakai pakaian dengan isbal (ini bagi laki-laki yaitu memakai celana di bawah mata kaki), mencukur jenggot, merayakan dengan cara yang diharamkan seperti mendengarkan musik, melihat hal-hal yang diharamkan, berhiasnya para wanita serta bercampurbaurnya mereka dengan laki-laki. Dan peringatkanlah wahai bapak-bapak yang memiliki rasa cemburu, agar keluarga kalian tidak pergi ke tempat-tempat hiburan sehingga terjadi ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita), pantai-pantai serta taman-taman yang padanya jelas terjadi kemungkaran-kemungkaran. Dan akhirnya, segala puji hanya milik Allah. Dan shalawat serta salam atas Rasulullah.

Berhari Raya Sesuai Tuntunan Rasulullah

Tiap tanggal 1 Syawal kita berhari raya ‘Iedul Fitri. Wahai Saudariku, ketahuilah bahwa hari raya ini merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebut ‘Ied karena pada hari itu Allah memberikan berbagai macam kebaikan yang kepada kita sebagai hambaNya. Diantara kebaikan itu adalah berbuka setelah adanya larangan makan dan minum selama bulan suci Romadhan dan kebaikan berupa diperintahkannya mengeluarkan zakat fitrah. Para ulama telah menjelaskan tentang sunah-sunah Rasulullah yang berkaitan dengan hari raya, diantaranya: 1. Mandi pada hari raya. Sa’id bin Al Musayyib berkata: “Sunah hari raya ‘idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar dan mandi.” 2. Berhias sebelum berangkat sholat ‘Iedul Fitri. Disunahkan bagi laki-laki untuk membersihkan diri dan memakai pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak. Sedangkan bagi wanita tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah dan menggunakan minyak wangi. 3. Makan sebelum sholat ‘Idul Fitri. “Dari Anas RodhiyAllahu’anhu, ia berkata: Nabi sholAllahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari). Menurut Ibnu Muhallab berkata bahwa hikmah makan sebelum sholat adalah agar jangan ada yang mengira bahwa harus tetap puasa hingga sholat ‘Ied. 4. Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang dari sholat ‘Ied. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, beliau mengambil jalan yang berbeda saat pulang dan perginya (HR. Bukhari), diantara hikmahnya adalah agar orang-orang yang lewat di jalan itu bisa memberikan salam kepada orang-orang yang tinggal disekitar jalan yang dilalui tersebut, dan memperlihatkan syi’ar islam. 5. Bertakbir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan sholat pada hari raya ‘ied, lalu beliau bertakbir sampai tiba tempat pelaksanaan sholat, bahkan sampai sholat akan dilaksanakan. Dalam hadits ini terkandung dalil disyari’atkannya takbir dengan suara lantang selama perjalanan menuju ke tempat pelaksanaan sholat. Tidak disyari’atkan takbir dengan suara keras yang dilakukan bersama-sama. Untuk waktu bertakbir saat Idul Fitri menurut pendapat yang paling kuat adalah setelah meninggalkan rumah pada pagi harinya. 6. Sholat ‘Ied. Hukum sholat ‘ied adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang, karena Rosulululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan sholat ‘Ied. Sholat ‘Ied menggugurkan sholat jum’at, jika ‘Ied jatuh pada hari jum’at. Sesuatu yang wajib hanya bisa digugurkan oleh kewajiban yang lain (At Ta’liqat Ar Radhiyah, syaikh Al Albani, 1/380). Nabi menyuruh manusia untuk menghadirinya hingga para wanita yang haidh pun disuruh untuk datang ke tempat sholat, tetapi disyaratkan tidak mendekati tempat sholat. Selain itu Nabi juga menyuruh wanita yang tidak punya jilbab untuk dipinjami jilbab sehingga dia bisa mendatangi tempat sholat tersebut, hal ini menunjukkan bahwa hukum sholat ‘Ied adalah fardhu ‘ain. Waktu Sholat ‘Ied adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari (waktu Dhuha). Disunahkan untuk mengakhirkan sholat ‘Iedul Fitri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan untuk menunaikan zakat fitrah. Disunahkan untuk mengerjakan di tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali ada udzur (misalnya hujan, angin kencang) maka boleh dikerjakan di masjid. Dari Jabir bin Samurah berkata: “Aku sering sholat dua hari raya bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adzan dan iqamat.” (HR. Muslim) dan tidak disunahkan sholat sunah sebelum dan sesudah sholat ‘ied, hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat hari raya dua raka’at. Tidak ada sholat sebelumnya dan setelahnya (HR. Bukhari: 9890) Untuk Khutbah sholat ‘ied, maka tidak wajib untuk mendengarkannya, dibolehkan untuk meningggalkan tanah lapang seusai sholat. Khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dibuka dengan takbir, tapi dengan hamdalah, dan juga tanpa diselingi dengan takbir-takbir. Beliau berkutbah di tempat yang agak tinggi dan tidak menggunakan mimbar. Rasulullah berkutbah dua kali, satu untuk pria dan satu untuk wanita, ketika beliau mengira wanita tidak mendengar khutbahnya. 7. Ucapan selamat Hari Raya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan beliau menjawab: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat ‘ied yaitu: Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika (Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu) dan semisalnya.” Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa mereka biasa melakukan hal tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan hal ini. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘ied, Namun jika seseorang itu memulai maka saya akan menjawabnya.” Yang demikian itu karena menjawab salam adalah sesuatu yang wajib dan memberikan ucapan bukan termasuk sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada larangannya. Barangsiapa yang melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang tidak mengerjakannya juga ada contohnya (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253). Ucapan hari raya ini diucapkan hanya pada tanggal 1 Syawal. 8. Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada hari raya. Saat hari raya, kadang kita terlena dan tanpa kita sadari kita telah melakukan kemungkaran-kemungkaran diantaranya: Berhias dengan mencukur jenggot (untuk laki-laki). Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Menyerupai atau tasyabuh terhadap orang-orang kafir dalam hal pakaian dan mendengarkan musik serta berbagai kemungkaran lainnya. Masuk rumah menemui wanita yang bukan mahrom. Wanita bertabarruj atau memamerkan kecantikannya kepada orang lain dan wanita keluar ke pasar dan tempat-tempat lain. Mengkhususkan ziarah kubur hanya pada hari raya ‘ied saja, serta membagi-bagikan permen, dan makanan-makanan lainnya, duduk di kuburan, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, melakukan sufur (wanitanya tidak berhijab), serta meratapi orang-orang yang sudah meninggal dunia. Berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam hal yang tidak bermanfaat dan tidak mengandung mashlahat dan faedah. Banyak orang yang meninggalkan sholat di masjid tanpa adanya alasan yang dibenarkan syari’at agama, dan sebagian orang hanya mencukupkan sholat ‘ied saja dan tidak pada sholat lainnya. Demi Allah ini adalah bencana yang besar. Menghidupkan malam hari raya ‘ied, mereka beralasan dengan hadits dari Rasulullah: “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adha, maka hatinya tidak akan mati di hari banyak hati yang mati.” (Hadits ini maudhu’/palsu sehingga tidak dapat dijadikan dalil). Maroji’: Ahkamul ‘Aidain oleh Syaikh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari. Meneladani Rasulullah dalam Berhari Raya.

Selasa, 30 Juli 2013

WAKTU LAILATUL QADAR bab 1

  Berbicara mengenai "waktu" mengingatkan penulis kepada ungkapan Malik Bin Nabi dalam bukunya Syuruth An-Nahdhah (Syarat-syarat Kebangkitan) [*] saat ia memulai uraiannya dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Saw.:   [*] Edisi Indonesianya telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan dengan judul Membangun Dunia Baru Islam (1994)   Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru. "Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat."   Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut:   Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu --selain Tuhan-- tidak akan mampu melepaskan diri darinya.   Sedemikian besar peranan waktu, sehingga Allah Swt. berkali-kali bersumpah dengan menggunakan berbagai kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti wa Al-Lail (demi Malam), wa An-Nahar (demi Siang), wa As-Subhi, wa AL-Fajr, dan lain-lain.   APA YANG DIMAKSUD DENGAN WAKTU?   Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat empat arti kata "waktu": (1) seluruh rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan datang; (2) saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu; (3) kesempatan, tempo, atau peluang; (4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu.   Al-Quran menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan makna-makna di atas, seperti:   a. Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti berakhirnya usia manusia atau masyarakat.   Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia (QS Yunus [10]: 49)   Demikian juga berakhirnya kontrak perjanjian kerja antara Nabi Syuaib dan Nabi Musa, Al-Quran mengatakan:   Dia berkata, "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dan kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas yang kita ucapkan" (QS Al-Qashash [28]: 28).   b. Dahr digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam raya dalam kehidupan dunia ini, yaitu sejak diciptakan-Nya sampai punahnya alam sementara ini.   Bukankah telah pernah datang (terjadi) kepada manusia satu dahr (waktu) sedangkan ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada di alam ini?) (QS Al-insan [76]: 1).   Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain saat kita berada di dunia, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan (mematikan) kita kecuali dahr (perjalanan waktu yang dilalui oleh alam)" (QS Al-Jatsiyah [45]: 24).   c. Waqt digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu peristiwa. Karena itu, sering kali Al-Quran menggunakannya dalam konteks kadar tertentu dari satu masa.   Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya (QS Al-Nisa' [4]: 103) .   d. 'Ashr, kata ini biasa diartikan "waktu menjelang terbenammya matahari", tetapi juga dapat diartikan sebagai "masa" secara mutlak. Makna terakhir ini diambil berdasarkan asumsi bahwa 'ashr merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Kata 'ashr sendiri bermakna "perasan", seakan-akan masa harus digunakan oleh manusia untuk memeras pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya dilakukan kapan saja sepanjang masa.   Dari kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa kesan tentang pandangan Al-Quran mengenai waktu (dalam pengertian-pengertian bahasa indonesia), yaitu:   a. Kata ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah Swt. sendiri. b. Kata dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu (dahr). c. Kata waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tecermin dari waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa. d. Kata 'ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran.   Demikianlah arti dan kesan-kesan yang diperoleh dari akar serta penggunaan kata yang berarti "waktu" dalam berbagai makna.   RELATIVITAS WAKTU   Manusia tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat. Mereka mengenal masa lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan manusia tentang waktu berkaitan dengan pengalaman empiris dan lingkungan. Kesadaran kita tentang waktu berhubungan dengan bulan dan matahari, baik dari segi perjalanannya (malam saat terbenam dan siang saat terbitnya) maupun kenyataan bahwa sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya matahari, atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya.   Perhitungan semacam ini telah menjadi kesepakatan bersama. Namun harus digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan dan diakui oleh Al-Quran (seperti setahun sama dengan dua belas bulan pada surat At-Taubah ayat 36), Al-Quran juga memperkenalkan adanya relativitas waktu, baik yang berkaitan dengan dimensi ruang, keadaan, maupun pelaku.   Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya kelak di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.   Di dalam surat Al-Kahfi [18]: 19 dinyatakan:   Dan berkata salah seorang dan mereka, "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab, "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari ..."   Ashhabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun lebih, menduga bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama sehari atau kurang,   Mereka berkata, "Kami berada (di sini) sehari atau setengah hari." (QS Al-Kahf [18]: 19).   Ini karena mereka ketika itu sedang ditidurkan oleh Allah, sehingga walaupun mereka berada dalam ruang yang sama dan dalam rentang waktu yang panjang, mereka hanya merasakan beberapa saat saja.   Allah Swt. berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam Al-Quran ditemukan kata kerja bentuk masa lampau (past tense/madhi) yang digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai masa depan. Allah Swt. berfirman:   Telah datang ketetapan Allah (hari kiamat), maka janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya ... (QS Al-Nahl [16]: 1).   Bentuk kalimat semacam ini dapat membingungkan para pembaca mengenai makna yang dikandungnya, karena bagi kita, kiamat belum datang. Tetapi di sisi lain jika memang telah datang seperti bunyi ayat, mengapa pada ayat tersebut dilarang meminta disegerakan kedatangannya? Kebingungan itu insya Allah akan sirna, jika disadari bahwa Allah berada di luar dimensi waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa yang akan datang sama saja. Dari sini dan dari sekian ayat yang lain sebagian pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.   Ketika Al-Quran berbicara tentang waktu yang ditempuh oleh malaikat menuju hadirat-Nya, salah satu ayat Al-Quran menyatakan perbandingan waktu dalam sehari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain (manusia).   Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun (QS Al-Ma'arij [70]: 4).   Sedangkan dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang ditempuh oleh para malaikat tertentu untuk naik ke sisi-Nya adalah seribu tahun menurut perhitungan manusia:   Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (QS Al-Sajdah [32]: 5).   Ini berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang dilakukan oleh satu pelaku mengakibatkan perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu sasaran. Batu, suara, dan cahaya masing-masing membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai sasaran yang sama. Kenyataan ini pada akhirnya mengantarkan kita kepada keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu demi mencapai hal yang dikehendakinya. Sesuatu itu adalah Allah Swt.   Dan perintah Kami hanyalah satu (perkataan) seperti kejapan mata (QS Al-Qamar [54] 50).   "Kejapan mata" dalam firman di atas tidak boleh dipahami dalam pengertian dimensi manusia, karena Allah berada di luar dimensi tersebut, dan karena Dia juga telah menegaskan bahwa:   Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!", maka terjadilah ia (QS Ya Sin [36]: 82)   Ini pun bukan berarti bahwa untuk mewujudkan sesuatu, Allah membutuhkan kata kun, sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan Allah terjadi seketika tanpa suatu proses. Ayat-ayat di atas hanya ingin menyebutkan bahwa Allah Swt. berada di luar dimensi ruang dan waktu.   Dari sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak boleh dipahami secara mutlak seperti pemahaman populer dewasa ini. "Allah menciptakan alam raya selama enam hari", tidak harus dipahami sebagai enam kali dua puluh empat jam. Bahkan boleh jadi kata "tahun" dalam Al-Quran tidak berarti 365 hari --walaupun kata yaum dalam Al-Quran yang berarti hari hanya terulang 365 kali-- karena umat manusia berbeda dalam menetapkan jumlah hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan perhitungan perjalanan bulan atau matahari, tetapi karena umat manusia mengenal pula perhitungan yang lain. Sebagian ulama menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi Nuh a.s. hidup di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun (QS 29: 14), tidak harus dipahami dalam konteks perhitungan Syamsiah atau Qamariah. Karena umat manusia pernah mengenal perhitungan tahun berdasarkan musim (panas, dingin, gugur, dan semi) sehingga setahun perhitungan kita yang menggunakan ukuran perjalanan matahari, sama dengan empat tahun dalam perhitungan musim. Kalau pendapat ini dapat diterima, maka keberadaan Nabi Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh jadi hanya sekitar 230 tahun.   Al-Quran mengisyaratkan perbedaan perhitungan Syamsiah dan Qamariah melalui ayat yang membicarakan lamanya penghuni gua (Ashhabul-Kahfi) tertidur.   Sesungguhnya mereka telah tinggal di dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (QS Al-Kahf [18]: 25).   Tiga ratus tahun di tempat itu menurut perhitungan Syamsiah, sedangkan penambahan sembilan tahun adalah berdasarkan perhitungan Qamariah. Seperti diketahui, terdapat selisih sekitar sebelas hari setiap tahun antara perhitungan Qamariah dan Syamsiah. Jadi selisih sembilan tahun itu adalah sekitar 300 x 11 hari = 3.300 hari, atau sama dengan sembilan tahun.   TUJUAN KEHADIRAN WAKTU   Ketika beberapa orang sahabat Nabi Saw. mengamati keadaan bulan yang sedikit demi sedikit berubah dari sabit ke purnama, kemudian kembali menjadi sabit dan kemudian menghilang, mereka bertanya kepada Nabi, "Mengapa demikian?" Al-Quran pun menjawab,   Yang demikian itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk menetapkan waktu ibadah haji (QS Al-Baqarah [2]: 189).   Ayat ini antara lain mengisyaratkan bahwa peredaran matahari dan bulan yang menghasilkan pembagian rinci (seperti perjalanan dari bulan sabit ke purnama), harus dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk menyelesaikan suatu tugas (lihat kembali arti waqt [waktu] seperti dikemukakan di atas). Salah satu tugas yang harus diselesaikan itu adalah ibadah, yang dalam hal ini dicontohkan dengan ibadah haji, karena ibadah tersebut mencerminkan seluruh rukun islam.   Keadaan bulan seperti itu juga untuk menyadarkan bahwa keberadaan manusia di pentas bumi ini, tidak ubahnya seperti bulan. Awalnya, sebagaimana halnya bulan, pernah tidak tampak di pentas bumi, kemudian ia lahir, kecil mungil bagai sabit, dan sedikit demi sedikit membesar sampai dewasa, sempurna umur bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi sedikit menua, sampai akhirnya hilang dari pentas bumi ini.   Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:   Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti untuk memberi waktu (kesempatan) kepada orang yartg ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang yang ingin bersyukur (QS Al-Furqan [25]: 62).   Mengingat berkaitan dengan masa lampau, dan ini menuntut introspeksi dan kesadaran menyangkut semua hal yang telah terjadi, sehingga mengantarkan manusia untuk melakukan perbaikan dan peningkatan. Sedangkan bersyukur, dalam definisi agama, adalah "menggunakan segala potensi yang dianugerahkan Allah sesuai dengan tujuan penganugerahannya," dan ini menuntut upaya dan kerja keras.   Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang peristiwa-peristiwa masa lampau, kemudian diakhiri dengan pernyataan. "Maka ambillah pelajaran dan peristiwa itu." Demikian pula ayat-ayat yang menyuruh manusia bekerja untuk menghadapi masa depan, atau berpikir, dan menilai hal yang telah dipersiapkannya demi masa depan.   Salah satu ayat yang paling populer mengenai tema ini adalah:   Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS Al-Hasyr [59]: 18).   Menarik untuk diamati bahwa ayat di atas dimulai dengan perintah bertakwa dan diakhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah ketakwaan, dan hasil akhir yang diperoleh pun adalah ketakwaan.   Hari esok yang dimaksud oleh ayat ini tidak hanya terbatas pengertiannya pada hari esok di akhirat kelak, melainkan termasuk juga hari esok menurut pengertian dimensi waktu yang kita alami. Kata ghad dalam ayat di atas yang diterjemahkan dengan esok, ditemukan dalam Al-Quran sebanyak lima kali; tiga di antaranya secara jelas digunakan dalam konteks hari esok duniawi, dan dua sisanya dapat mencakup esok (masa depan) baik yang dekat maupun yang jauh.   MENGISI WAKTU   Al-Quran memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, bahkan dituntunnya umat manusia untuk mengisi seluruh 'ashr (waktu)-nya dengan berbagai amal dengan mempergunakan semua daya yang dimilikinya. Sebelum menguraikan lebih jauh tentang hal ini, perlu digarisbawahi bahwa sementara kita ada yang memahami bahwa waktu hendaknya diisi dengan beribadah (dalam pengertian sempit). Mereka merujuk kepada firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang menyatakan, dan memahaminya dalam arti   Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.   Pemahaman dan penerjemahan ini menimbulkan kerancuan, karena memahami lam (li) pada li ya'budun dalam arti "agar". Dalam bahasa Al-Quran, lam tidak selalu berarti demikian, melainkan juga dapat berarti kesudahannya atau akibatnya. Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 8 yang menguraikan dipungutnya Nabi Musa a.s. oleh keluarga Fir'aun.   Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah (QS Al-Qashash [28]: 8).   Kalau lam pada ayat di atas diterjemahkan "agar", maka ayat tersebut akan berarti, "Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keiuarga Fir'aun 'agar' ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka." Kalimat ini jelas tidak logis, tetapi jika lam dipahami sebagai akibat atau kesudahan, maka terjemahan di atas akan berbunyi, "Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga Fir'aun, dan kesudahannya adalah ia menjadi musuh bagi mereka."

PUASA bab 2

  d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu miskin (Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).   Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt. memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan: musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.   Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:   Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah.   Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak setengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.   e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]: 187)   Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan, hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan seks adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa pun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", maka puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.   Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi sebelum terbitnya matahari --paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.   f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).   Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.   Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang. Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk). Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut saat imsak.   g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam).   Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan minum sampai dengan datangnya fajar.   Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah, dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung oleh banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam". Kata lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail.   Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw. untuk mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir magrib sebenarnya belum masuk.   Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.   TUJUAN BERPUASA   Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la'allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw. misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga."   Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa "Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan."   Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, "Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."   Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah Swt. Demikian antara lain penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi di atas.   Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya. Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata.   Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusia kepada takwa?" Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan takwa.   PUASA DAN TAKWA   Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah"   Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.   Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.   a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya. b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.   Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)."   Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah Swt. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah hadis.   Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah Swt.   PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH   Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Nabi Saw. memerintahkan, "Takhallaqu bi akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).   Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan, minum, dan hubungan seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri:   Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)   Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin [72]: 3).   Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan,   Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).   Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.   Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam pengertian di atas dapat pula dicapai.   Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran tersebut --bukan pada sisi lapar dan dahaga-- sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw. menyatakan bahwa, "Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."   PUASA UMAT TERDAHULU   Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba 'alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas (umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.   Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat islam dan umat-umat terdahulu?   Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks. Binatang --khususnya binatang-binatang tertentu-- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga --misalnya-- ada waktu atau musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.   Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang hari.   Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.   Potensi dan daya manusia --betapa pun besarnya-- memiliki keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan kebutuhan faali misalnya-- maka arah yang lain, --mental spiritual-- akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.   Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa.   Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh Al-Quran.   Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush shiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa yang mewajibkannya?   Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam hal ini adalah Allah Swt. Tetapi boleh jadi juga untuk mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh setiap makhluk yang berakal?   Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya umatku mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."   KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN   Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam Qadar,   Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailat Al-Qadr.   Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu, yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.   Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian-- bahwa dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang mengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa --siapa pun yang dengan tulus berdoa.   Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentang keistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak ada keistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal itu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia. []

PUASA

MARHABAN YA RAMADHAN   Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."   Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".   Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1 kaki di) dataran rendah yang mudah."   Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.   Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt.   Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.   Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.   PUASA MENURUT AL-QURAN   Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak bebicara:   Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun (QS Maryam [19]: 26).   Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat.   Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa pun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari".   Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.   Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa.   Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.   Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.   Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.   Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana disinggung di atas.   1. Puasa wajib sebutan Ramadhan. 2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya. 3. Puasa sunnah.   Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar pada puasa bulan Ramadhan.   PUASA RAMADHAN   Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah.   Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah- perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185:   Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.   Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa sunnah tertentu.   Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun.   Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian, maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."   Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan," maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain. "Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa adalah baik."   Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."   Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.   Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa. Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.   BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA   a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu yang menderita sakit)   Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua:   1. Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan 2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa.   Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan, dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.   b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)   Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah).   Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini. Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.   Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat kemudahan dari Allah Swt.?   Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa."   Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."   Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu:   c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).   Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."   Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.   Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas.   Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.   Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu? Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.